Bulan demi bulan dilalui,
hingga tiba pada bulan Juli. Waktu keberangkatan.
Singkat cerita, aku sudah
menghubungi pihak Kedutaan Besar RI di London untuk menjadi tempat tinggal
selama kurang lebih satu bulan. Namun, akhirnya orang tuaku menelepon bahwa
temannya yang tinggal di Milton Keynes, sekitar 90 km dari London, bersedia
menerimaku untuk tinggal di rumahnya tepat sekitar 3 hari sebelum keberangkatan.
Aku semakin senang. Aku merasa tinggal dengan orang Indonesia akan membuatku
merasa lebih nyaman di sana.
Ini kali pertama bagiku
untuk pergi jauh.
Aku pergi untuk melihat
bagaimana sisi kehidupan di negeri lain, terutama pendidikannya. Aku tak banyak
berpikir tentang apa yang akan kukerjakan setelah menempuh pendidikan singkat
di London. Hanya berserah diri untuk diajari lewat pengalaman baru yang kukira
akan mengejutkan ini. Dan memang pengalaman ini mengejutkan. Aku sudah dari
dulu ingin melihat bagaimana orang-orang belajar di luar negeri. Dan syukurnya,
Tuhan kasih kesempatan untuk merasakannya lewat kegiatan ini.
Selama penerbangan menuju London: Di atas dataran Turki
Semua sudah dipersiapkan.
Pada tanggal 19 Juli, aku berangkat dari bandara Soekarno-Hatta. Menempuh
perjalanan selama 16 jam menuju bandara Heathrow. Mataku tidak bisa tertutup.
Begitu kagumnya melihat cakrawala di luar sana. Mataku tak bisa lekang dari jendela, melihat gunung-gunung tinggi yang sedang dilalui dari atas. Sesekali
aku bernyanyi dalam hati. Aku tau aku pergi ke negeri jauh yang punya banyak
kemungkinan buruk untukku. Tapi pikiran itu tak berhasil menggertakku. Aku
tetap duduk dalam damai selama jam-jam penerbangan itu.
Aku tiba di London pada
sore hari.
Sebelum mendarat di Heathrow: Tepat di atas Sungai
Thames (Spot the London Eye!)
Tante, teman Mamaku yang
sebelumnya setuju untuk menerimaku tinggal di rumahnya, sudah berjanji akan
menjemputku pada waktu aku tiba di Heathrow. Sekitar setengah jam menunggu, Tante belum pula datang. Sedikit takut. Aku bergumam dalam hati, “Ini kampung
orang, how will I pass through this?”
Tapi lagi-lagi, pikiran-pikiran yang
bisa menjatuhkanku tak berhasil menguasaiku. Tetap merasa damai. Aku bertanya
pada petugas bandara apakah ada WiFi, namun ternyata sedang tidak berfungsi.
Saat itu pula aku melihat
counter kartu internet dan kuingat
aku bawa kartu debit Jeniusku! Aku berjalan ke arahnya sambil membawa
barang-barangku. Aku begitu senang karena akhirnya bisa membeli Lebara untuk
dapat akses internet. Sebelum berangkat, aku melihat promosi kartu internet di
pusat administrasi visa UK di Jakarta, tapi entah kenapa aku mengabaikannya.
Akhirnya aku berhasil
menghubungi tanteku lewat messenger.
Aku merasa semakin tenang karena ia berkata akan segera tiba.
Berbeda sekali dengan
bandara Soekarno-Hatta, Heathrow berukuran lebih kecil dan lebih tertib. Tidak
banyak kursi disediakan di terminal kedatangan, karena kebanyakan orang yang
sudah tiba akan segera dijemput atau langsung keluar mencari transportasi lain.
Aku menunggu sambil berdiri, tepat di dekat counter
tadi.
“Theo…!” Ada suara yang memanggilku dari belakang.
“Theo…!” Ada suara yang memanggilku dari belakang.
Itu Tante dan Christiaan,
anaknya. Aku berjalan ke arah mereka dan langsung memeluknya. Merasa begitu
lega. Kami bergegas menuju lokasi parkir.
Badanku begitu lelah,
tapi mataku tetap tak bisa tertutup. Masih saja asyik memperhatikan kehidupan di luar
sana. Dalam perjalanan menuju Milton Keynes, Tante sengaja membawa kami
melewati pusat kota di London untuk sebentar memperlihatkanku tempat belajar
sebulan ke depan.
“This is it, London!”, kata Tante sambil menunjukkan beberapa titik-titik terkenal di pusat kota.
“This is it, London!”, kata Tante sambil menunjukkan beberapa titik-titik terkenal di pusat kota.
Menjelang hari Senin, aku
bersiap-siap untuk memulai summer school di
King’s College London. Sebelumnya kami mengikuti ibadah di gereja lokal, Faith
Tabernacle Church, yang berlokasi tidak jauh dari rumah.
Welcoming talks.
Ada banyak mahasiswa dari seluruh dunia berdatangan untuk menimba ilmu selama
sebulan di kampus ini. Setibanya di kelas pada pagi hari, aku langsung bertemu
dengan mahasiswa National Taiwan University asal Malaysia bernama Chang, yang
mengambil topik studi yang sama denganku, Healthcare
and Technology. Tidak butuh waktu yang banyak, kami langsung bisa akur dan
ngobrol banyak hal.
Jujur saja, di minggu
pertama, aku kesulitan menyimak dan memahami kuliah. Pada minggu itu kami
belajar introduksi perkembangan medical
robotics, medical simulation dan sub-topik yang paling banyak dibahas: medical imaging. Terkesima
dengan dedikasi Profesor Kawal Rhode yang berdiri selama dua jam sesi setiap
hari sambil menjelaskan materi dan menerima setiap pertanyaan dari kami,
sekitar 40 mahasiswa yang tertarik mengambil topik keahlian beliau.
Sore hari sepulang kuliah: Di Tower Bridge, bersama
seorang teman dari Beijing
Aku berpikir bukan hal
mudah berjuang menimba ilmu di negeri orang. Apalagi ini kali pertama bagiku
belajar dengan fully English-taught
lectures yang sangat jarang diperoleh di kampus. Tapi ada semangat untuk
maju, untuk setidaknya berhasil menangkap dua tiga poin yang disampaikan di
kelas. Hari demi hari aku merasa semakin baik. Aku berpikir untuk memaksimalkan pengalaman
berharga ini.
Sekali seminggu selama
tiga minggu kuliah, kami punya kesempatan untuk praktikum di rumah sakit yang
berasosiasi dengan kampus. Salah satu praktikum yang paling kuingat adalah ultrasound imaging di St. Thomas
Hospital. Semuanya begitu antusias melihat langsung bagaimana perkembangan
bidang medical imaging saat ini.
Praktikum ultrasound
imaging di St. Thomas Hospital
Kuliah dibagi ke dalam dua
kelas setiap harinya, pagi dan siang. Di tengah waktu istirahat, aku dan
beberapa teman sesekali jalan-jalan mengelilingi Strand, salah satu titik
keramaian di London, lokasi kampus kami. Get
lost. Kami pergi ke museum, pameran buku, hingga bangunan-bangunan tua
berupa gereja dan pusat kesenian.
Setiap hari aku menaiki
kereta overground Bletchley-London
Euston selama kira-kira satu jam. Dari stasiun London Euston, aku berjalan kaki
menuju kampus selama sekitar setengah jam. Rutinitas ini tak terasa hanya
berlangsung selama tiga minggu. Kuliah, teman-teman baru, tempat baru, fenomena
baru, semua tersimpan dalam perjalanan singkatku di London.
Selama perjalanan itu,
aku dibantu oleh kartu debit Jenius. Di sepanjang jalan pusat kota terdapat banyak
mesin ATM. Selama bepergian, beberapa kebutuhan
yang kubeli juga sangat dibantu oleh kehadiran contactless card ini, membuat cash withdrawals yang lebih efisien.
Jalan-jalan di sekitar Sungai Thames
Setiap sore, Tante dan
Christiaan selalu setia menungguku di stasiun Bletchley. Hari-hari itu kami
lewati dengan bercerita di malam hari. Sesekali kami pergi ke tempat lain. Aku
paling ingat ketika kami pergi ke Cambridge pada minggu kedua dan Oxford pada
minggu ketiga, melihat dua kampus yang menghasilkan banyak orang hebat.
Pada minggu terakhirku di
sana, aku bertemu dengan senior-seniorku yang kini sedang menempuh studi lanjut
di Inggris. Pertemuan itu kami isi dengan berbincang-bincang tentang kehidupan kami masing-masing dan berkeliling sejenak
di Kensington Park. Aku begitu semangat membayangkan kelak dapat melanjutkan
studi seperti mereka.
Good times.
Hari Minggu terakhir di
Milton Keynes, aku meminta supaya didoakan di gereja. Aku merasa begitu
dirangkul dan rasanya semakin sulit meninggalkan tempat ini. Ada Fungisayi,
anggota gereja yang begitu baik mendengarkan ceritaku dan datang ke rumah Tante
hanya untuk mengantarkanku besok harinya ke bandara!
Ibadah terakhir di Faith Tabernacle Church bersama
jemaat
Aku meninggalkan Inggris
dengan sebelumnya berdoa bersama di rumah. Tepat hari Kamis, 15 Agustus. Tante, Christiaan dan Fungisayi
mengantarkanku ke bandara Gatwick. Perjalanan jauh pulang ke rumah kembali
kutempuh dengan harapan baru, semangat baru, dan tentunya rasa syukur bisa
menjalani ini semua.
Thanks God!
No comments:
Post a Comment